Minggu, 16 September 2012

“HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRA OPERASI KATARAK DI RUANG RAWAT INAP RSUD DR. HARJONO S. SP.OG PONOROGO”


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Kebutaan merupakan masalah sosial atau problema kesehatan yang sedang berkembang di negara-negara maju. WHO memperkirakan bahwa terdapat antara 27 sampai 35 juta orang buta di seluruh dunia saat ini. Angka ini meningkat sampai paling sedikit 42 juta apabila kriteria diperluas untuk mencakup ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang. Penyebab kebutaan yang utama berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan sosial suatu daerah yang diteliti. Di negara yang sedang berkembang, katarak adalah penyebab utama, dengan trakoma, lepra, onkoserkarisis, dan xeroftalmia juga penting (Vaughan, dkk, 2000: 424).
Katarak merupakan kekeruhan lensa. Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan dengan penuaan. Penelitian-penelitian potong-lintang mengidentifikasi adanya katarak pada sekitar 10% orang Amerika Serikat, dan prevalensi ini meningkat sampai sekitar 50% untuk mereka yang berusia antara 65 dan 74 tahun dan sampai sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun (Vaughan, dkk, 2000: 175). Katarak merupakan penyebab kebutaan yang utama di Indonesia. Umumnya katarak merupakan penyakit lansia atau usia lanjut. Katarak dapat terjadi pada bayi ataupun usia muda. Diketahui bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2% dari jumlah penduduk di Indonesia. Dari angka tersebut 0,70% persentase kebutaan disebabkan oleh katarak (Ilyas, 1999: 7).

Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar tahun 2007 diprovinsi Jawa Timur, angka tertinggi kejadian katarak  di Jawa Timur berdasarkan diagnosis dan gejala terjadi di kabupaten Situbondo (17,3%) disusul Pasuruan (15,2%) dan Lumajang (13,5%). Cakupan operasi katarak tampak masih sangat rendah (0.5%) dari  penduduk Jawa Timur yang diketahui katarak dengan angka tertinggi dikabupaten Probolinggo (1,3%) disusul kota Surabaya (1,2%). Sedangkan angka kunjungan pasien katarak ke Poliklinik Mata RSUD Dr. Harjono S. Sp.OG Ponorogo tahun 2010 sebanyak 415 kasus lama dan 509 kasus baru. Sedangkan jumlah pasien katarak yang melakukan operasi pada Januari 2010 - Januari 2011 sebanyak 93 kasus (Data Rekam Medik RSUD Dr. Harjono S. Sp.OG Ponorogo).
Katarak hanya dapat disembuhkan atau dihilangkan dengan cara membersihkan lensa mata yang keruh. Hanya pembedahan yang dapat membantu mengeluarkan lensa yang keruh (Ilyas, 1999: 21). Tindakan bedah merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas orang, dapat membangkitkan reaksi stress baik fisiologi maupun psikologi. Reaksi stress fisiologis ada hubungan langsung dengan bedah, lebih ekstensif bedah itu lebih besar respon fisiologisnya. Kecemasan merupakan respon psikologik terhadap stress yang mengandung komponen fisiologik dan psikologik. Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam baik secara fisik atau psikologik (seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas diri) (Long, 1996: 137). Kecemasan praoperatif merupakan suatu ancaman terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Cemas berbeda dengan rasa takut, dimana cemas disebabkan oleh hal-hal yang tidak jelas termasuk didalamnya pasien yang akan menjalani operasi karena mereka tidak tahu konsekuensi pembedahan dan takut terhadap prosedur pembedahan itu sendiri. Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan akan pengalaman pembedahan yang dapat mengakibatkan kecemasan yang terekspresi dalam berbagai bentuk seperti marah, menolak, atau apatis terhadap kegiatan keperawatan. Kecemasan dapat menimbulkan adanya perubahan fisik maupun psikologis yang akhirnya mengaktifkan saraf otonom sehingga  meningkatkan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi napas, dan secara umum mengurangi tingkat energi pada pasien, dan akhirnya dapat merugikan individu itu sendiri (Rothrock, 1999 dalam Muttaqin dan Sari, 2009).
Akibatnya, perawat harus memberikan dorongan untuk pengungkapan serta harus mendengarkan, memahami, dan memberikan informasi yang membantu menyingkirkan kekhawatiran tersebut (Potter, 2006 dalam Muttaqin dan Sari, 2009). Strategi keperawatan yang utama pada periode pra bedah adalah penyuluhan tentang peristiwa yang akan datang, latihan-latihan yang diperlukan pada periode pasca bedah guna mencegah yang potensial menjadi berbagai komplikasi. Penyuluhan merupakan fungsi penting dari perawat pada fase pra bedah dan dapat mengurangi cemas bila pasien mengetahui apa yang diharapkan oleh dia (Long, 1996: 9). Pemahaman terhadap suatu kerangka berfikir yang jelas akan menurunkan kecemasan dan sangat berguna bagi seseorang untuk menurunkan tingkat kecemasannya sampai kondisi yang ringan atau cemas sedang. Penjelasan-penjelasan adalah satu cara pengadaan struktur. Setiap pengalaman baru harus dijelaskan pada pasien dan jika mungkin kaitkan dengan pengalaman-pengalaman khusus yang terbiasa. Semakin tinggi tingkat kecemasan, maka makin banyak penjelasan yang diberikan. Penjelasan-penjelasan harus diberikan dengan bahasa pasien sendiri pada waktu yang tepat dan diulang bila perlu. Jika pasien sangat cemas, mengulangi penjelasan sangat perlu karena kecemasan yang berlebihan dapat menurunkan fungsi intelektual (Long: 1996: 142).
Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara perawat dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya, untuk mengenal kebutuhan klien dan menetukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Kemampuan komunikasi tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku seseorang yang melibatkan aktivitas fisik, mental, disamping juga dipengaruhi latar belakang sosial, pengalaman, usia, pendidikan, dan tujuan yang ingin dicapai (Purwanto, 1994:19). Tehnik komunikasi yang tepat sangat berarti melibatkan banyak hal dibandingkan hanya percakapan-percakapan yang berkembang sehingga pasien merasa bebas untuk berkomunikasi dan merasa dibantu (Long, 1996: 143). Peran perawat sebagai tim pelayanan kesehatan salah satunya memberikan informasi tentang kesehatan kepada klien untuk menurunkan tingkat kecemasan klien dengan jalan meningkatkan hubungan yang baik antara perawat dengan klien melalui komunikasi terapeutik. Komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan terapeutik karena komunikasi mencakup penyampaian informasi dan pertukaran pikiran dan perasaan. Oleh karena itu komunikasi sangat penting untuk mencapai keberhasilan intervensi keperawatan, terutama karena proses keperawatan ditujukan untuk meningkatkan perubahan perilaku (Stuart, 2006: 13). Peran mendasar perawat adalah meyakinkan bahwa kebutuhan fisiologi pasien benar-benar terpenuhi. Tindakan yang dilakukan perawat terhadap pasien selalu dipertimbangkan atas keinginan pasien. Sehingga hubungan yang terjadi benar-benar sebagai hubungan mutualis dan sebagai sarana agar kebutuhan-kebutuhan pasien dapat terpenuhi. Perawat harus menggunakan ketrampilan komunikasi interpersonalnya untuk mengembangkan hubungan dengan klien sebagai manusia yang utuh. Hubungan ini bersifat terapeutik yang akan meningkatkan iklim psikologi dan untuk memenuhi kebutuhan klien (Arwani, 2002: 52-53).
Dari Uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh adakah “HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRA OPERASI KATARAK DI RUANG RAWAT INAP RSUD DR. HARJONO S. SP.OG PONOROGO”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar