BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebutaan merupakan masalah sosial atau problema
kesehatan yang sedang berkembang di negara-negara maju. WHO memperkirakan bahwa
terdapat antara 27 sampai 35 juta orang buta di seluruh dunia saat ini. Angka
ini meningkat sampai paling sedikit 42 juta apabila kriteria diperluas untuk
mencakup ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang. Penyebab kebutaan yang utama
berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan sosial suatu daerah yang diteliti. Di
negara yang sedang berkembang, katarak adalah penyebab utama, dengan trakoma,
lepra, onkoserkarisis, dan xeroftalmia juga penting (Vaughan, dkk, 2000: 424).
Katarak
merupakan kekeruhan lensa. Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat
bervariasi dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan
dengan penuaan. Penelitian-penelitian potong-lintang mengidentifikasi adanya
katarak pada sekitar 10% orang Amerika Serikat, dan prevalensi ini meningkat
sampai sekitar 50% untuk mereka yang berusia antara 65 dan 74 tahun dan sampai
sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun (Vaughan, dkk, 2000:
175). Katarak merupakan penyebab kebutaan yang utama di Indonesia. Umumnya
katarak merupakan penyakit lansia atau usia lanjut. Katarak dapat terjadi pada
bayi ataupun usia muda. Diketahui bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia
berkisar 1,2% dari jumlah penduduk di Indonesia. Dari angka tersebut 0,70%
persentase kebutaan disebabkan oleh katarak (Ilyas, 1999: 7).
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar tahun
2007 diprovinsi Jawa Timur, angka tertinggi kejadian katarak di Jawa Timur berdasarkan diagnosis dan
gejala terjadi di kabupaten Situbondo (17,3%) disusul Pasuruan (15,2%) dan
Lumajang (13,5%). Cakupan operasi katarak tampak masih sangat rendah (0.5%)
dari penduduk Jawa Timur yang diketahui
katarak dengan angka tertinggi dikabupaten Probolinggo (1,3%) disusul kota
Surabaya (1,2%). Sedangkan angka kunjungan pasien katarak ke Poliklinik Mata
RSUD Dr. Harjono S. Sp.OG Ponorogo tahun 2010 sebanyak 415 kasus lama dan 509
kasus baru. Sedangkan jumlah pasien katarak yang melakukan operasi pada Januari
2010 - Januari 2011 sebanyak 93 kasus (Data Rekam Medik RSUD Dr. Harjono S.
Sp.OG Ponorogo).
Katarak hanya dapat disembuhkan atau dihilangkan
dengan cara membersihkan lensa mata yang keruh. Hanya pembedahan yang dapat
membantu mengeluarkan lensa yang keruh (Ilyas, 1999: 21). Tindakan bedah
merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas orang, dapat
membangkitkan reaksi stress baik fisiologi maupun psikologi. Reaksi stress
fisiologis ada hubungan langsung dengan bedah, lebih ekstensif bedah itu lebih
besar respon fisiologisnya. Kecemasan merupakan respon psikologik terhadap
stress yang mengandung komponen fisiologik dan psikologik. Kecemasan terjadi
ketika seseorang merasa terancam baik secara fisik atau psikologik (seperti
harga diri, gambaran diri, atau identitas diri) (Long, 1996: 137). Kecemasan
praoperatif merupakan suatu ancaman terhadap suatu pengalaman yang dapat
dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas
tubuh, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Cemas berbeda dengan rasa takut,
dimana cemas disebabkan oleh hal-hal yang tidak jelas termasuk didalamnya
pasien yang akan menjalani operasi karena mereka tidak tahu konsekuensi
pembedahan dan takut terhadap prosedur pembedahan itu sendiri. Berbagai dampak
psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan akan pengalaman
pembedahan yang dapat mengakibatkan kecemasan yang terekspresi dalam berbagai
bentuk seperti marah, menolak, atau apatis terhadap kegiatan keperawatan. Kecemasan
dapat menimbulkan adanya perubahan fisik maupun psikologis yang akhirnya
mengaktifkan saraf otonom sehingga
meningkatkan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, peningkatan
frekuensi napas, dan secara umum mengurangi tingkat energi pada pasien, dan
akhirnya dapat merugikan individu itu sendiri (Rothrock, 1999 dalam Muttaqin
dan Sari, 2009).
Akibatnya, perawat harus memberikan dorongan
untuk pengungkapan serta harus mendengarkan, memahami, dan memberikan informasi
yang membantu menyingkirkan kekhawatiran tersebut (Potter, 2006 dalam Muttaqin
dan Sari, 2009). Strategi keperawatan yang utama pada periode pra bedah adalah
penyuluhan tentang peristiwa yang akan datang, latihan-latihan yang diperlukan
pada periode pasca bedah guna mencegah yang potensial menjadi berbagai
komplikasi. Penyuluhan merupakan fungsi penting dari perawat pada fase pra
bedah dan dapat mengurangi cemas bila pasien mengetahui apa yang diharapkan
oleh dia (Long, 1996: 9). Pemahaman terhadap suatu kerangka berfikir yang jelas
akan menurunkan kecemasan dan sangat berguna bagi seseorang untuk menurunkan
tingkat kecemasannya sampai kondisi yang ringan atau cemas sedang.
Penjelasan-penjelasan adalah satu cara pengadaan struktur. Setiap pengalaman
baru harus dijelaskan pada pasien dan jika mungkin kaitkan dengan pengalaman-pengalaman
khusus yang terbiasa. Semakin tinggi tingkat kecemasan, maka makin banyak
penjelasan yang diberikan. Penjelasan-penjelasan harus diberikan dengan bahasa
pasien sendiri pada waktu yang tepat dan diulang bila perlu. Jika pasien sangat
cemas, mengulangi penjelasan sangat perlu karena kecemasan yang berlebihan
dapat menurunkan fungsi intelektual (Long: 1996: 142).
Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan
proses untuk menciptakan hubungan antara perawat dengan klien dan tenaga
kesehatan lainnya, untuk mengenal kebutuhan klien dan menetukan rencana
tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Kemampuan
komunikasi tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku seseorang yang melibatkan
aktivitas fisik, mental, disamping juga dipengaruhi latar belakang sosial,
pengalaman, usia, pendidikan, dan tujuan yang ingin dicapai (Purwanto,
1994:19). Tehnik komunikasi yang tepat sangat berarti melibatkan banyak hal
dibandingkan hanya percakapan-percakapan yang berkembang sehingga pasien merasa
bebas untuk berkomunikasi dan merasa dibantu (Long, 1996: 143). Peran perawat
sebagai tim pelayanan kesehatan salah satunya memberikan informasi tentang
kesehatan kepada klien untuk menurunkan tingkat kecemasan klien dengan jalan
meningkatkan hubungan yang baik antara perawat dengan klien melalui komunikasi
terapeutik. Komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan terapeutik karena
komunikasi mencakup penyampaian informasi dan pertukaran pikiran dan perasaan.
Oleh karena itu komunikasi sangat penting untuk mencapai keberhasilan
intervensi keperawatan, terutama karena proses keperawatan ditujukan untuk
meningkatkan perubahan perilaku (Stuart, 2006: 13). Peran mendasar perawat
adalah meyakinkan bahwa kebutuhan fisiologi pasien benar-benar terpenuhi.
Tindakan yang dilakukan perawat terhadap pasien selalu dipertimbangkan atas
keinginan pasien. Sehingga hubungan yang terjadi benar-benar sebagai hubungan
mutualis dan sebagai sarana agar kebutuhan-kebutuhan pasien dapat terpenuhi.
Perawat harus menggunakan ketrampilan komunikasi interpersonalnya untuk
mengembangkan hubungan dengan klien sebagai manusia yang utuh. Hubungan ini
bersifat terapeutik yang akan meningkatkan iklim psikologi dan untuk memenuhi
kebutuhan klien (Arwani, 2002: 52-53).
Dari Uraian di atas peneliti tertarik untuk
mengetahui lebih jauh adakah “HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN
PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRA OPERASI KATARAK DI RUANG RAWAT INAP
RSUD DR. HARJONO S. SP.OG PONOROGO”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar