Minggu, 12 Agustus 2012

PERCIKAN PERMENUNGAN TENTANG EKSISTENSIALISME DAN SASTRA *




By ; Wak Jansens

Menurut istilahnya, filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia. “Philo” artinya cinta, sedangkan “Sophia” mengandung arti hikmah. Jadi philosophia memiliki pengertian  cinta pada kebenaran atau hikmah. Filsafat biasa dianggap sesuatu yang abstrak dari seluruh pengetahuan manusia dan dan terpisah jauh dari lingkungan kehidupan. Hal ini disebabkan bayangan orang mengenai filsafat berupa pertanyaan – pertanyaan yang mencakup inti persoalan kehidupan, sementara dipihak lain manusia hanya sanggup meluangkan waktu dan tenaga untuk menjalani kehidupan itu sendiri.

Filsafat sering juga dianggap “ weltanschuung “ ( pandangan dunia ). Dengan demikian dapat dikatakan hampir seluruh manusia mempunyai “ wawasan filosofis “, baik yang disadari maupun tidak. Filsafat yang lengkap mencakup pandangan dunia atau konsep umum mengenai keseluruhan semesta dan suatu pandangan hidup yang berisi nilai – nilai, makna dan tujuan hidup manusia. Jadi filsafat merupakan dasar bagi sikap dan perbuatan manusia dalam mencapai tujuan hidupnya dan tercermin dalam kehidu
pan sehari – hari.
   
Oleh karena itu filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya boleh dilakukan orang – orang tertentu melainkan dapat dilakukan semua orang. Filsafat merupakan dunia terbuka bagi setiap orang untuk merenungkan kembali peristiwa sehari – hari, mengenai diri sendiri dan semesta dalam bentuk pertanyaan. Filsafat bertitik pangkal pada pertanyaan  dan diakhiri dengan pertanyaan. Itulah yang menyebabkan setiap persoalan yang dibicarakan dalam filsafat tidak pernah selesai

Dari berbagai macam aliran filsafat, terdapatlah filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi atau yang sering disebut eksistensialisme adalah suatu gerakan protes dalam filsafat modern dan bukanlah suatu doktrin yang homogen. Ia merupakan gerakan filsafat yang menghimpun sejumlah pemikiran filsafat yang berlainan asumsi, konsep – konsep dan lingkup masalahnya. Tetapi sekalipun terdapat perbedaan besar pemikiran filsafat yang tergabung dalam aliran ini, arus dasarnya sama : berontak pada filsafat tradisional dan situasi kehidupan modern

Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap pandangan filsuf – filsuf terdahulu yang menurut mereka telah menghancurkan ilusi tentang kebebasan manusia. Untuk itu misi gerakan ini melawan pandangan yang menempatkan manusia pada tingkat impersonal. Dalam filsafat tradisional pusat perhatian hampir semuanya diarahkan pada metafisika tentang ada, rasionalisme dan dunia objektif serta melupakan emosi manusia berupa pertanyaan mengenai makna hidup, penderitaan, kematian maupun problem eksistensial lainnya. Manusia individual dengan problem eksistensialnya yang unik dari keberadaannya sehari – hari telah ditinggalkan oleh filsafat tradisional. Untuk itu eksistensialisme mengadakan reaksi pada kekurangan filsafat tradisional dengan memusatkan perhatian pada manusia sebagaimana dia meng-ada dalam dunia, serta relasi manusia dengan manusia dan dunia

Di Eropa faktor  penyebab utama yang menyebarluaskan aliran eksistensialisme adalah banyaknya kejadian tidak logis akibat dua kali perang dunia yang menyebabkan kegoncangan pada norma – norma yang ada. Disamping itu juga,  kehidupan modern yang terlalu optimis tapi dangkal dan terlalu yakin akan kemajuan ikut memperbesar aliran ini. Para pendudukung aliran ini berusaha menyingkap makna baru dalam kehidupan manusia serta meninjau kembali posisinya sesudah ilusi tentang kehidupan hancur oleh malapetaka yang terlalu banyak dalam sejarah. Model – model pemikiran objektif dikesampingkan, mereka hanya  mengandalkan metode fenomenologi yang menguraikan fakta – fakta pemikiran sesuai yang dihayati manusia

Adalah sangat sulit menyimpulkan eksistensialisme mengingat banyaknya perbedaan yang kompleks dari pemikir – pemikir  eksistensialisme itu sendiri. Tapi secara umum dapat dikatakan bahwa eksistensialisme  adalah  filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada keberadaan dengan titik pusatnya manusia

Secara etimologis eksistensi berasal dari bahasa latin existere yang terdiri dari dua suku kata, yaitu ex “ ( keluar ) dan “ sitere “ ( membuat berdiri ). Jadi eksistensialisme berarti apa yang ada, apa yang dimiliki ( aktualitas ), apa yang dialami. Karena itu para eksistensialis memahami keberadaan manusia bukan semata – mata karena ada yang statis, melainkan dalam keadaan menjadi, berkembang dan berkesinambungan. Dan ini merupakan aksioma dasar yang dipakai para eksistensialis dalam menerangkan berbagai macam problem eksistensial yang dialami manusia. Pandangan  eksistensialisme ini merentang dari ateisme sampai aristotelenisme. Sampai batas – batas yang luas dapatlah dikatakan sebagai hasil pemikiran yang bebas dari prasangka – prasangka kultural, sosial,  historis maupun religius

Kaitan Eksistensialisme dengan Sastra       

Sebagaimana yang telah disinggung diatas, filsafat eksistensi  banyak dilatarbelakangi suasana kehidupan modern. Suasana kehidupan modern tersebut juga banyak dicerminkan karya sastra. Jadi seringkali jawaban yang diberikan sastra pararel dengan jawaban yang filsafat eksistensi terhadap situasi kehidupan modern. Eksistensialisme adalah jawaban yang diberikan filsafat dan sastra terhadap apa yang disebutnya sebagai situasi kehidupan modern

Hal itu bukan berarti seorang sastrawan sebelum memulai proses kreatifnya harus mempelajari filsafat lebih dulu. Bisa saja jawaban tersebut dihasilkan melalui penghayatan intens pengarang dalam menggumuli kehidupan. Setiap manusia yang sungguh – sungguh menghayati kehidupan akan selalu merasakan momen – momen atau segi – segi eksistensialnya. Sastra merupakan alat untuk mengucapkan pemikiran pengarang dalam memahami eksistensi manusia secara konkret, estetik dan imajinatif, bukan manusia dalam pemikiran yang bertakik – takik ( sophisticated thinking ). Simone de Bauvoir mengatakan, “ A Philosopher who make subjectivity concrete, human existence, central to this viewpoint, is man conditions in its full concrete reality”.

Mengingat sastra ( sastra eksistensial ) merupakan ungkapan pengarang dalam menggumuli kehidupan secara intens, sementara juga menjadi bentuk pengucapan manusia yang mempunyai tujuan  pada dirinya sendiri, maka antara sastra eksistensial dan eksistensialisme saling mempengaruhi sebagai sesuatu yang bersifat existensial par excellence. Sastra eksistensial  terkadang tidak hanya dipengaruhi eksistensialisme, tetapi juga alat bagi pemikir eksistensialisme dalam menyampaikan gagasannya yang pada gilirannya nanti menjadi referensi bagi pemikiran ekstensialisme itu sendiri. Keduanya, baik sastra eksistensial maupun eksistensialisme mempunyai tujuan yang sama yaitu  memberikan kesadaran pada manusia akan kondisi kemanusiaannya.  Jadi sastra eksistensial ( seperti halnya juga eksistensialisme ) merupakan reaksi terhadap pandangan yang menempatkan manusia bersama orang lain sehingga melupakan manusia sebagai individu dengan berbagai persoalan eksistensial yang dialaminya

Sastra eksistensial dan eksistensialisme adalah dunia bagi penghayatan manusia pada segi – segi eksistensial yang menjadi problem dirinya. Yang disampaikan olehnya bukanlah gagasan abstrak tentang manusia melainkan kedudukan manusia pada situasi tertentu yang konkret, yang selalu didesak antara kefanaan dengan keabadian, yang selalu ditarik antara kehidupan dengan kematian, ataupun yang selalu dihadapkan pada keberhasilan dengan kegagalan.

Tarik menarik antara sastra eksistensial dengan eksistensialisme dapat dijelaskan melalui tiga tahapan yang berjalan berbeda. Tahap pertama eksternalisasi, yaitu proses dimana sastrawan menuangkan hasil renungannya mengenai segi – segi eksistensial kedalam karyanya sehingga lambat laun karya sastra tersebut menjadi dan nampak seperti pemikiran eksistensialisme. Apabila pemikiran yang dibentuk oleh eksternalisasi tersebut kemudian mengukuhkan diri dan sastrawan kembali menghadapi karya sastra sebagai suatu faktisitas, maka pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan objektivikasi. Dalam pada itu agar pemikiran yang telah diobjektivikasi tidak menjadi asing bagi pengarang yang menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subjektivitas pengarang. Inilah tahapan internalisasi

Tiga tahapan tersebut mempunyai perbedaan – perbedaan dalam rangka penyampaian segi – segi eksistensial dalam karya sastra. Oleh eksternalisasi segi – segi eksistensial dalam karya sastra menjadi pemikiran eksistensialisme dan merupakan produk kegiatan subjektivitas pengarang. Oleh objektivikasi segi – segi eksistensial dalam karya sastra menjadi realitas sui generis, terlepas dari subjektivitas pengarang yang mengemukakannya. Oleh internalisasi pemikiran eksistensialisme mendapat giliran mempengaruhi subjektivitas pengarang dalam memahami segi – segi eksistensial.

Tahapan eksternalisasi dapat dilihat pada karya – karya Chairil Anwar. Betapapun sulitnya membuktikan bagaimana modus masuknya eksistensialisme dalam karya - karyanya, banyak kritikus menganggap adanya pemikiran eksistensialisme dalam karya Chairil Anwar. Dalam tahap objektivikasi, pengarang terasing oleh ide dan gagasannya sendiri sehingga dalam proses kreatifnya ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada manusia ketika berhadapan dengan segi – segi eksistensial.  Pengarang – demikian seperti yang dikatakan Sartre - tidak berperan menjadi Tuhan bagi tokoh – tokoh dalam novelnya. Sedangkan pada tahap internalisasi, eksistensialisme terang – terangan dipakai pengarang dalam memahami segi – segi eksistensial manusia. Hal ini dapat dilihat dalam proses kreatif iwan simatupang yang menggunakan sastra sebagai alat pemikiran eksistensialisme  seperti yang dikatakannya sendiri, “ sastra bukan melahirkan konsepsi tertentu, melainkan dilahirkan dari konsepsi tertentu “

Dalam uraian yang serba singkat ini, kita dapat melihat adanya dilematis bagi sastra eksistensial akibat adanya keterikatan yang kuat dengan eksistensialisme. Seperti pilihan melihat dirinya sebagai bagian dari eksistensialisme atau karya seni ? Tanpa memasuki pemikiran tertentu karya sastra menjadi kering dan kurang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Tetapi begitu ia mandeg dan puas dalam pemikiran tertentu, seringkali karya sastra menyangkal dirinya sebagai bagian dari seni yang mempunyai nilai estetis dan imajinatif. Karya sastra hanya sekedar alat untuk menyampaikan slogan pemikiran pengarang yang menciptakannya

*Diolah dari berbagai sumber. Merupakan ringkasan dari makalah yang penulis sampaikan pada seminar Sastra dan Filsafat medio oktober 1992 yang diselenggarakan oleh mahasiswa fakultas sastra se-Indonesia di Jakarta. Ditulis kembali atas permintaan seorang perempuan terkasih yang menghadapi derita hidup dengan senyum dan hati yang bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar