Minggu, 12 Agustus 2012

KONSEP MANUSIA DAN FITRAH PERKEMBANGANYA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM”


  1. Latar Belakang Masalah
         Allah Swt adalah satu-satunya sang pencipta, yang sebagai Maha Maha Pencipta dengan sebenar-benarnya telah menciptakan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang ada diantara keuanya. Salah satu ciptaan Allah SWT itu adalah berbagai makhluk hidup yang dijadikan sebagai penghuni planet yang disebut bumi. Diantara berbagai jenis makhluk hidup itu, terdapat jenis yang dinamakan manusia, yang diberinya keistimewaan berupa kemampuan berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi penghuni bumi.
         Kemampuan berpikir itulah yang disuruh atau diperintahkan Allah Swt, agar dipergunakan untuk memikirkan segala sesuatu diluar drinya. Demikian kenyataannya bahwa manusia tidak pernah berhenti berfikir, kecuali dalam kadaan tidur atau sedang berada dalam situasi diluar kesadaran. Manusia berpikir tentang segala sesuatu yang tampak atau dapat di tangkap oleh panca inderanya. Disamping itu bahkan tidak sedikit sesuatu yang bersifat abstrak telah menjadi byek pemikiran manusia.[1]
         Siapakah sebenarnya manusia itu? Untuk apakah manusia itu hidup? Apakah arti atau makna hidup? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sejak zaman yunani sampai zaman sekarang dan yang akan datang, akan terus merupakan bahan pemikiran yang tak akan habis-habisnya. Pertanyaan tersebut sedikit banyaknya pernah menyentuh setiap manusia yang berakal. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia adalah makhluk yang ingin mengenal dirinya dan selalu merefleksikan dirinya, disadari ataupun tidak disadari. Walaupun pertanyaan itu bersifat filosofis, tetapi jawabanya akan menentukan derajat kemanusiaan seseorang, corak, type dan watak kepribadianya.
         Oleh karena manusia adalah makhluk yang mempunyai kepribadian, maka jawaban terhadap pertanyaan tersebut, berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainya. Bahkan kita bisa mengadakan penggolongan tipe manusia berasarkan jawaban terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas. Setiap golongan manusia akan memberikan jawaban dan uraian yang berbeda-beda tentang “manusia dan tujuan hidupnya”. Jawaban tentang pengertian manusia dan tujuan hidupnya adalah merupakan hal fundamental, suatu hal yang menentukan tingkah laku seseorang.[2]  
         Manusia adalah makhluk yang sangat menarik. Oleh karena itu, ia telah menjadi sasaran studi dahulu, kini, dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing, tetapi sampai sekarang para ahli belum mencapai kata sepakat tentang manusia. Ini terbukti dari banyaknya penamaan manusia, misalnya Homo sapien (manusia berakal), homo economicus (manusia ekonomi) yang kadangkala disebut economicanimal (binatang ekonomi) dan sebagainya.[3]
         Pertanyaan “siapakah manusia itu?” telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Kalau demikian kenapa manusia tidak berhenti bertanya kemudian menyerahan diri kepada nasib saja ? inilah suatu pertanda bahwa manusia itu penuh dengan rahasia. Manusia mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri secara unik. Ada satu pengibaratan terkenal yang mengatakan bahwa “keledai tidak mau tersandung dua kali kepada batu yang sama, tetapi manusia sebaliknya”. Apakah dengan demikian berarti bahwa manusia lebih bodoh dari keledai? Tidak. Hal itu justru menunjukkan bahwa manusia lebih pandai dari keledai.
         Hewan hidup hanya tergantung kepada instink atau naluri menyesuaikan lingkungan fisik yang mengitarnya. Ia tidak mampu mengubah atau menolak lingkungannya. Hanya saja ia mampu dengan sempurna menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Maka, Jaques Maritian mengatakan bahwa binatang adalah makhluk spesialis yang paling sempurna. Daur kehidupan binatang mantap, masa hidupnya kronologis dan hanya berorientasi kepada kekinian. Ia tidak mengingat masa lalunya dan membayangkan masa depannya. Karena itu, ia acapkali disebut sebagai makhluk a-historis. Bagi hewan, sejarah sama sekali tidak berperan. Kendati ia mampu meninggalkan pengalaman posotif. Kemampuanya itu tidak berperan untuk memahami wawasan kesejarahan, karena hewan tidak mampu belajar dari pengalaman.
         Sebaliknya, manusia hidup tidak mengandalkan instink atau nalurinya semata. Ia hidup dengan akal, perasaan, dan kemauan. Ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya, menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhanan mencapai cita-citanya. Jika manusia mau berulangkali tersandung kepada batu yang sama, hal itu karena ia ingin meneliti dan mengetahui mengapa sampai tersandung. Setelah itu berusaha memperbaiki dan mengembangkan kehidupannya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi kehidupan manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, sehingga memiliki predikat sebagai makhluk historis.   
         Salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu ingin menciptakan dunia kehidupan dan mengatasi realitasnya sendiri. Karena itu, seperti dikatakan A.Vloemen, “manusia selalu berusaha melampaui diri sendiri secara terus-menerus. Dengan kata lain manusia disamping sebagai makhluk sejarah, juga dikuasai oleh sejarah. Oleh karena itu, ia tidak hanya barada dalam dunianya sendiri, tetapi hidup bersama dan berdialog dengan kehidupan.
         Menurut Imam Ghazali, salah satu sifat korati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin jauh rahasia alam yang ia selidiki semakin banyak pula daerah misteri yang tidak diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, misterium, tremendum et facinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang tidak mau berhenti mencari kebenaran.
         Namun dalam proses pencarian itu, manusia banyak berhadapan dengan tabir rahasia yang tidak terungkap. Manusia dalam mengembangkan kehidupannyaselalu berada dalam dua moralitas. Kebebasan untuk maniri dan ketergantungan dengan alam dan masyarakatnya. Akibatnya terjailah pertentangan yang terus menerus antara individu dan masyarakat.          
         Dalam konsep Islam, manusia terdiri dari tiga unsur : tubuh, hayat dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup,, dan jika tubuh mati, maka kehidupanpun berahir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosof Islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan juga ada jiwa. Tetapi eksistensi jiwa disini terikat dengan tubuh yang materi. Oleh karena itujika makhluk yang bersangkutan mati, jiwapun ikut hancur.
         Sebaliknya, eksistensi jiwa manusia tidak terikat pada materi, karena itu ia tidak ikut mati bersama-sama dengan tubuh. Dalam Islam, istilah mati berbeda dengan konsep mati dari faham materialisme atau ideology lain. Dalam faham tersebut, “mati” berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Sedangkan dalam Islam, mati berarti tubuh manusia akan hancur, tetapi jiwanya tetap memiliki wujud yang abadi. Tidak hanya itu. Menurut ajaran Islam, orang dapat dikatakan “mati” meskipun tubuhnya masih hidup, bergerak, dan berhubungan dengan orang lain sebagaimana layaknya seorang yang masih hidup manakala dalam hidupnya tidak mau beribadah dan sujud kepada Allah. Dalam arti, menolak semua perintaj dan melanggar semua larangan-Nya, sepereti para syuhada (mereka berjuang di jalan Allah)[4]
            Islam sebagai agama lahir bersamaan dengan hadirnya manusia pertama, nabi Adam a. s. Saat itu pula pendidikan islam dimulai oleh Allah yang mendidik dan membimbing manusia pertama yaitu Adam sebagai subyek didik, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan (nama-nama benda) (Q.S. Al-Baqrah; 31). yang tidak diajarkan kepa makhluk lain termasuk malaikat sekalipun. Selain itu Allah juga memberikan bimbingan “norma kehidupan” untuk memelihara harkat dan martabat manusia (larangan mendekati pohon terlarang) (Q.S. al-Baqarah: 35).
         Islam yang sekarang ini adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, untk mendidik umat manusia, dengan prinsip-prinsip ajaran yang sama dengan yang dibawa nabi-nabi terdahulu yaitu ajaran Tauhid (mengesakan Allah dan beribadah kepada Nya). Secara keseluruhan ajaran  yang dibawa Nabi Muhammad merupakan kesinambungan, kelengkapan dan penyempurnaan ajaran para nabi terdahulu. Semua itu merupakan satu sitem keyakinan dan ketentuan ilahi yang merupakan pedoman hidup dan seluruh aspek kehidupan, baik hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Itulah risalah islamiyah yang merupakan misi profesi Muhammad SAW, dengan satu tujuan yaitu untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam “rahmatan lil’alamin”. (Q.S. al-Anbiya’: 107).
         Ajaran Islam sebagai pedoman hidup yang sifatnya universal dan eternal tentu tidak mungkin bersifat rinci dan detil, mengingat kompleksitasnya masalah dan perubahan tantangan hidup yang dihadapi manusia dari waktu ke waktu. Oleh karena itu ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah mnausia (Q.S. Ar-Rum:30), hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai transedental yang memang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Pedoman hidup yang sifatnya baku dan operasional hanyalah yang berkenan dengan akidah (keimanan) dan ibadah khusus (mahdlah), sehingga  tidak perlu kreatifitas manusia untuk menciptakan pedoman baru. Sedangkan hal-hal yang berkenaan dengan duniawiah Islam hanya memberikan pedoman yang berupa nilai-nilai yang implementasinya sebagian besar diserahkan kepada manusia.[5]     
         Pembahasan tentang manusia hubungnnya dengan proses pendidikan Islam, merupakan bagian yang amat penting. Karena akan diketahui dengan jelas tentang potensi-potensi manusia yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan. Disamping dapat digunakan sebagai dasar rumusan tujuan pendidikan, pendekatan pendidikan, serta aspek-aspek lain dalam proses pendidikan. Manusia dalam kegiatan pendidikan sebagai subyek dan obyek yang langsung terlibat di dalamnya. Tanpa adanya kejelasan konsep tentang manusia, maka akan sulit ditentukan arah yang akan dituju pada proses pendidikan.[6]
         Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis akan membahas tentang “KONSEP MANUSIA DAN FITRAH PERKEMBANGANYA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM”

  1. Rumusan Masalah
         Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dalam membahas tentang “KONSEP MANUSIA DAN FITRAH PERKEMBANGANYA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM”, penulis mengangkat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian pendidikan Islam ?
2.      Bagaimana konsep manusia dalam perspektif Pendidikan Islam ?
3.      Bagaimana konsep Fitrah perkembangannya dalam perspektif Pendidikan Islam ?

  1. Tujuan Kajian
         Dalam kajian ini tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah :
1.      Ingin mengetahui pengertian pendidikan Islam.
2.      Ingin mengetahui konsep manusia dalam perspektif Pendidikan Islam.
3.      Ingin mengetahui konsep Fitrah perkembangan manusia dalam perspektif Pendidikan Islam.
  1. Kegunaan Kajian
         Skripsi ini berjudul “Konsep Manusia Dan Fitrah Perkembangannya Dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Dari hasil kajian ini diharapkan dapat di gunakan untuk :
1.      Teoritis :
Menambah khazanah keilmuan dalam dunia Pendidikan Islam..
2.      Praktis :
a.      Pembaca mampu memahami konsep manusia dan fitrah perkembangannya dalam perspektif pendidikan Islam.
b.      Membantu para pendidik untuk memahami kemampuan dasar peserta didik dan selalu memperhatikan perkembangannya, sehingga dapat menyesuaikan kebutuhan para peserta didiknya.
c.       Dijadikan bahan pertimbangan bagi orang tua untuk memilih pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) yang dimiliki anaknya. Sehingga bakat yang dimiliki dapat berkembang secara maksimal.   


[1] Hadari Nawawi, Hakekat Manusia Menurt Islam, ( Surabaya : Al-Ikhlas, 1993), 12.
[2] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung : CV. Sinar Baru, 1991), 111-112
[3] Mohammmad Daud Ali, S.H, Pendidikan Agama Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 10-11
[4] Mastuhu, Memberdayakan System Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 19999) 21-24
[5] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 17-19
[6] Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu PEndidikan Islam, (Ponorogo : STAIN Po Press, 2007), 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar