(Studi Kasus Ponpes Mamba'ul Hikam
Mantenan, Udanawu, Blitar)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat
dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai negara yang
berdasarkan agama, pendidikan agama tidak dapat diabaikan dalam penyelengaraan
pendidikan nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga keagamaan di
Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam pembangunan
mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik
materiil bangsa Indonesia.[1]
Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan masyarakat
seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh kaena itu, agama tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan pendidikan
nasional Indonesia.
Penyelenggaraan pendidikan nasional diatur oleh
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional yang
penjabarannya tertuang dalam Peraturan pemerintah Nomor 27 tentang Pendidikan
Prasekolah, Nomor 28 tentang Pendidikan Dasar, nomor 29 tentang pendidikan
Menengah, dan Nomor 30 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-Undang dan keempat
Peraturan Pemerintah tadi harus menjadi rujukan dalam penyelenggaraan
pendidikan oleh lembaga dimana pun pendidikan itu diselenggarakan.[2]
UU Nomor tahun 1989 telah menetapkan bahwa pendidikan
nasional terdiri dari tiga jenjang, yaitu jenjang Pendidikan Dasar, Pendidikan
Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Pendidikan pada anak-anak sebelum mengikuti
pendidikan dasar adalah pendidikan prasekolah. Berdasar PP Nomor 28, pendidikan
dasar mencakup satuan pendidikan menengah, yang mencakup pendidikan menengah
umum (SMU/MA) dan pendidikan menengah kejuruan (SMK). Adapun PP Nomor 29
mengatur pendidikan tinggi, baik terkait jenis, program, dan stratanya. Dalam
sistem Pendidikan Nasional ini juga termasuk penyelenggaraan pendidikan,
seperti pendidikan yang berada dibawah naungan Depdiknas, Depag, maupun
pendidikan kedinasan dibawah departemen-departemen lain. Selain pendidikan yang
termasuk dalam jalur prasekolah, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
tersebut juga mengatur pendidikan pada jalur luar sekolah, salah satunya adalah
pesantren.[3]
Pesantren secara historis telah mendokumentasikan
berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Sejak awal penyebaran agama Islam
di Indonesia, pesantren merupakan saksi utama dan sarana penting bagi kegiatan
Islamisasi tersebut. Perkembangan dan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara,
tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren. Besarnya arti
pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi
pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mengakar kuat
dari budaya asli bangsa Indonesia.[4]
Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin diminati
oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini
membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan
anak-anak mereka. Menurut data di Departemen Agama pada tahun 1998, bahwa dari
8.991 pondok pesantren saat itu, terdapat 1.598 berada diwilayah perkotaan
sedangkan yang ada diwilayah pedesaan sebanyak 7. 393. Data ini menunjukan
adanya pergeseran jumlah pesantren yang ada di perkotaan dari tahun ke tahun.
Dengan melihat kecenderunggan ini, diprediksi suatu saat nanti akan terjadi perimbangan
jumlah pesantren antar kota dan desa.[5]
Menurut Malik Fadjar, kelebihan pondok pesantren dapat
dilihat dari polemik kebudayaan yang berlangsung pada tahun 30-an. Dr. Sutomo, salah
seorang cendikiawan yang telibat dalam polemik tersebut, menganjurkan agar
asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan
pendidikan nasional. Walaupun pemikiran Dr. Sutomo itu kurang mendapat
tanggapan yang berarti, tetapi patut digaris bawahi bahwa pesantren telah
dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembentukan
identitas budaya bangsa Indonesia. Pada tahun 70-an, Abdurrahman Wahid telah
mempopulerkan pesantren sebagai sub-kultur dari bangsa Indonesia. Sekarang ini,
umat Islam sendiri tampaknya telah menganggap pesantren sebagai model institusi
pendidikan yang memiliki keunggulan, baik dari sisi transmisi dan internalisasi
moralitas umat Islam[6]
maupun dari aspek tradisi keilmuan yang oleh Martin Van Bruinessen dinilainya
sebagai salah satu tradisi agung (great tradition).[7]
Akan tetapi di samping hal-hal yang mengembirakan tersebut di atas, perlu pula
dikemukakan beberapa tantangan pondok pesantren dewasa ini. Tantangan yang
dialami lembaga ini menurut pengamatan para ahli semakin lama semakin banyak,
kompleks, dan mendesak. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Ditengah derap kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi
motor bergeraknya modernisasi, dewasa ini banyak fihak merasa ragu terhadap eksistensi lembaga
pendidikan pesantren. Keraguan itu dilatar belakangi oleh kecenderungan dari
pesantren untuk bersikap menutup diri terhadap perubahan di sekelilingnya dan
sikap kolot dalam merespon upaya modernisasi. Menurut Azyumardi Azra, kekolotan
pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan sisa-sisa
dari respon pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren merasa
bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang dari barat,
berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama.[8]
Oleh sebab itu, mereka melakukan isolasi diri terhadap sentuhan perkembangan
modern sehingga membuat pesantren dinilai sebagai penganut Islam tradisional.
Perkembangan
dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern. Perubahan-perubahan
yang mendasar dalam struktur budaya masyarakat seringkali membentur pada aneka
kemapanan. Akibatnya ada keharusan untuk mengadakan upaya kontekstualisasi
bangunan-bangunan budaya masyrakat dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali
dengan sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sistem pendidikan pesantren
harus melakukan upaya-upaya konstruktif agar tetap relevan dan mampu bertahan.[9]
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang "Relevansi Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional
Dalam Era Modernisasi". Sedangkan penulis memilih Pondok Pesantren
Mamba'ul Hikam Mantenan, Udanawu, Blitar
sebagai objek penelitian berdasarkan alasan sebagai berikut: (1). Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam adalah salah
satu pesantren tradisional yang masih tetap eksis sampai sekarang[10]
(2). Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam merupakan salah satu pesantren tradisional
yang termasuk dalam kategori pesantren besar.[11]
[2] Mohamad Ali
"Reorientasi Makna Pendidikan: Urgensi Pendidikan Terpadu", dalam Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki
Wahid et. All. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 174.
[4] Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, 184.
[7] Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1999), 17.
[8] Azumardi Azra,
"Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramida, 1997), xvi.
[9]
Suwendi , "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa
Catatan", dalam Pesantren Masa Depan, 216.
[11] Menurut kriteria
yang diajukan Zamakhsyari Dhofier, pesantren besar adalah yang memiliki jumlah
santri lebih dari 2000 orang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi.
Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES,1994), 44.
SELENGKAPNYA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar